Sabtu, 15 Mei 2010

Cerpen

KETULUSAN

Oleh: Sri RH

Kutatap langit biru yang membulirkan berjuta keindahan dan harapan sembari merenungi nasib hidupku yang penuh dengan dilema. Jiwaku bergejolak, ingin berontak pada takdir kehidupan, tapi pada siapa aku harus marah? Pada siapa harus kulampiaskan rasa kesalku? Untuk apa aku marah? Amarah itu akan sia-sia saja karena Allah telah menuliskan nasibku pada lembaran-lembaran takdir. Aku sadar inilah takdir hidupku yang harus kujalani dengan penuh ketabahan dan keikhlasan,

Aku terlahir dalam sebuah keluarga yang sederhana, dari ibu yang sederhana, dari kelahiran yang sederhana sebab hidup ini pun sederhana saja. Namun, dalam kesederhanaan ini aku bersyukur karena di sinilah kuperoleh kebahagiaan yang tak tergantikan oleh apapun. Aku punya orang tua yang begitu bijaksana, yang selalu mengajarkanku arti hidup, arti kesederhanaan dan mengajarkanku bagaimana mensyukuri nikmat Allah SWT.

Seketika lamunanku dibuyarkan oleh suara tawa seorang pria paruh baya. Kualihkan pandangan mataku untuk mencari suara yang tertangkap daun telingaku. Tepat di sudut rumah, kulihat sesosok tubuh kekar dengan kulit hitam legam yang terbakar terik matahari. Dengan kumis tebal yang menempel di atas bibirnya dan janggut yang menempel di dagunya membuat wajahnya terlihat begitu seram bagi siapapun yang melihatnya. Namun, pada kenyataanya dia adalah seseorang yang sangat baik hati dan ramah. Pria paruh baya itu adalah ayahku. Seseorang yang sangat kami kagumi dan selalu menjadi tauladan kami, anak-anaknya.

Ayahku hanyalah seorang petani yang punya penghasilan pas-pasan. Walaupun penghasilan itu sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari namun, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya, ayah harus mencari tambahan lain. Karena itu, selain bertani, ayah juga menjadi agen buah khususnya mangga. Demi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak-anaknya, kedua pekerjaan itu benar-benar digeluti oleh ayah. Walaupun begitu, ayah tidak pernah berkeluh kesah. Dengan penuh keikhlasan dan kesabaran ayah menjalani semua ini dengan harapan anak-anaknya akan menjadi orang yang berguna kelak bagi diri sendiri, keluarga, bangsa dan negara. Sungguh tiada kata yang mampu kurangkai untuk memuji ketulusan ayahku.

Sementara ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga yang selalu setia melayani ayah dan merawat serta mendidik kami anak-anaknya. Namun, ibu bukanlah seorang istri yang tega membiarkan ayah bergelut sendiri, mempertaruhkan hidupnya demi memperjuangkan masa depan anak-anaknya. Karena itu, ibu membuka usaha kecil-kecilan di rumah yaitu usaha emping melinjo kebetulan kami juga punya pohon sendiri. Alhamdulillah dari penghasilan tersebut, ibu bisa memenuhi kebutuhan lainnya seperti pakaian dan keperluan rumah tangga lainnya.

***

Di pagi yang kelam kurasakan dingin yang luar biasa membalut seluruh tubuhku membuat tubuhku malas untuk beranjak dari tidur malamku. Lantunan kalam Allah sayup-sayup tertangkap daun telingaku sebagai pertanda kalau azdan subuh akan segera berkumandang. Pada saat bersamaan aku juga mendengar suara peralatan dapur saling beradu. Saat itu, aku tersadar kalau ibu sudah mulai beraksi di dapur menyiapkan segala kebutuhan untuk sarapan pagi. Namun, aku masih tetap bermalas-malasan di tempat tidur karena mataku yang celik masih sulit untuk menyambut pagi yang kelam dan akhirnya aku kembali terlelap.

Azdan subuh pun mulai berkumandang menggemparkan kesunyian pagi yang kelam. Namun, aku masih terbuai oleh sentuhan angin syahdu yang membuatku terlelap dalam mimpi tak bertepi.

Sayup-sayup terdengar suara memanggilku. Liaa…!Liaa…!Aku tetap diam tak bergumam, tapi aku merasa sudah menjawab panggilan itu. Terdengar lagi suara panggilan di telingaku dan kali ini daun telingaku menangkap dengan jelas suara itu. Liaa…! Aku pun tersentak dan segera bangun dari tidurku. Aku baru sadar ternyata suara yang dari tadi kudengar adalah suara ibu yang membangunkanku untuk shalat subuh.

Aku pun segera turun dari tempat tidurku untuk melaksanakan perintah sang pencipta. Kurapikan rambutku dan langsung keluar kamar menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah selesai shalat, aku pun segera merapikan tempat tidur dan bersiap-siap untuk mandi. Tapi, aku harus ngantri karena kakak-kakakku sudah mendahului aku.

***

Aku menanti. Duduk di ruang tengah sambil memandang pepohonan yang melindungi rumahku dari debu dan sinar matahari yang selalu menghampiri. Kulihat rembulan yang hampir hilang dari pandangan mengintip dari balik pepohonan mengingatkanku pada kebahagiaan yang semu. Namun, aku tak boleh pesimis, aku harus optimis bahwa kebahagiaan yang kuimpikan pasti akan kuraih.

Pandangan mataku beralih pada sesosok tubuh yang berdiri di bawah pohon jambu yang rindang. Kulihat ayahku yang sedang membenahi sepeda jandanya. Seperti biasa ayahku selalu menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkannya untuk berangkat ke sawah setiap selesai shalat subuh. Ayah selalu menyiapkan semuanya di saat langit masih gelap karena dia tidak ingin mentari pagi lebih dahulu menyapanya sebelum dia sampai ke sawah.

Ayahku bukan hanya giat dan tekun dalam bekerja tapi dia juga orang yang teliti. Untuk sepeda saja dia benar-benar mengontrolnya agar dapat dikayuh dengan baik oleh kedua kakinya. Belum lagi perlengkapan lainnya, seperti pacul dan parang juga setiap hari selalu diasah hingga tajamnya mampu menghancurkan segala penghalang perjuangannya dan selalu siap menemani ayah dalam berjuang menuliskan masa depan anak-anaknya di hamparan cita-cita.

Tak lelah mataku memperhatikan ayah. Semua peralatan telah selesai dibenahi dan dikemas dalam keranjang. Kemudian keranjang dinaikkan ke atas sepeda, tepatnya diletakkan pada bangku belakang dan diikat dengan gesit oleh ayah. Matanya yang jeli melihat sisi kiri dan kanan keranjang, untuk memastikan apakah karet ban dan keranjang sudah menyatu dengan sepeda hingga dia yakin kalau keranjang itu tidak akan jatuh atau terlepas dari ikatannya. Itulah ayahku yang begitu giat dan tekunnya dalam berjuang menapaki hidup.

Lamunanku dibuyarkan oleh teguran ayah. “Kenapa belum mandi, sudah jam berapa ini?”

“Haa..!O, iya yah, ini Lia mau mandi tadi masih nunggu kakak.” Aku sedikit kaget mendengar teguran ayah karena ayahku bukanlah orang yang banyak bicara. Kalaupun bicara hal-hal yang penting saja jadi aku takut kalau ayah marah.

“Sudah cepat, nanti kesiangan!”

“Iya, Yah!”

***

Secangkir kopi hangat telah tersedia di atas meja. Begitu juga teh dan sarapan pagi dengan menu spesial “nasi goreng telur dadar”. Walupun menunya sangat sederhana, tapi bagi kami itulah sarapan pagi yang sangat spesial, apalagi nasi goreng buatan ibu.

“Yah, sudah selesai atau belum? Minum dulu kopinya, nanti kalau dingin tak enak lagi.”

“Ya Bu, sudah selesai kok! Anak-anak sudah selesai atau belum? Suruhlah cepat, nanti kesiangan pula sampai di sekolah.”

“Iya Yah, sebentar lagi juga selesai.”

Terdengar suara ibu memanggil aku dan kakak-kakakku untuk segera sarapan pagi. Kami pun segera bersiap-siap dan bergegas menuju ruang makan yang cukup sederhana. Ibu dan ayah sudah menanti kami, duduk di hamparan tikar tepat di depan TV merek Sanyo berkotak ukuran 21 inch berwarna hitam putih. Kami pun duduk bersama menikmati sarapan pagi dengan penuh keakraban. Begitu indahnya pagi ini kurasakan bersama keluarga saling bercengkrama menyantap sarapan pagi yang spesial itu.

***

Ayah sudah meyiapkan uang saku untuk kami semua. Pagi itu, sebenarnya aku perlu uang lima ribu rupiah untuk membayar cicilan uang buku. Tapi, belum sempat aku menyampaikan maksudku pada ayah, abang sudah mendahului aku. Seketika aku mengurungkan niatku karena aku tahu bagaimana kondisi keuangan ayahku. Aku tak mungkin memaksakan keinginanku. Namun, tanpa kuduga ayah bertanya padaku.

“Berapa lagi uang bukumu Lia?” Aku tersentak, aku sangat terharu mendengarnya, dengan perasaan yang tak karuan aku pun menjawab pertanyaan ayah.

“Lia butuh lima belas ribu rupiah lagi Yah untuk melunasi semuanya.”

“Ayah belum punya uang untuk melunasi semuanya jadi masing-masing ayah beri lima ribu rupiah dulu, kekurangannya sabar ya nak, nanti kita bayar. Berdoa saja mudah-mudahan Allah memberikan rezeki yang lebih buat kita.”

“Amiin..! Kami menjawab serentak. Mendengar kata-kata ayah hatiku benar-benar hancur, terhempas oleh ombak rasa yang berkecamuk di relung kalbuku, menghimpitku di antara puing-puing berserakan di hamparan kealfaan.”

“Jangan khawatir nak, Allah tidak akan mengabaikan hambanya yang benar-benar ingin memperoleh ilmu pengetahuan.” Ibu menambahkan kata-kata ayahku. Aku terdiam mendengar ucapan ibu, aku masih belum mengerti apa maksud dari kata-kata ibu.

“Jangan bingung nak, seperti yang pernah ibu dengar dari orang tua dulu, katanya kalau untuk pendidikan Allah pasti akan memberikan rezeki yang berbeda, yakinlah pada kata-kata itu, yang penting kuatkan kemauan kalian untuk belajar, insya Allah semua pasti akan berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan kita.” Aku begitu lega mendengar motivasi dari ibu, ibu benar kalau aku harus yakin kalau Allah akan selalu membantu hambaNya yang lemah. Aku tidak akan mengecewakan ayah dan ibu. Aku harus mampu mewujudkan harapan ayah dan ibu untuk menjadi orang yang berguna baik dunia maupun akhirat nanti.

***

Tepat pukul enam pagi, Ayah segera bergegas untuk berangkat ke sawah dan kami menyalaminya. Setiap hari ayah mengayuh sepedanya dan melewati kerikil-kerikil tajam di hamparan jalan. Berlomba dengan sinar mentari pagi. Itulah ayahku yang tak pernah menyerah dengan kehidupan. Tak pernah mengeluh selalu ikhlas menuliskan masa depan anak-anaknya di lembaran kehidupan. Dengan sawah sebagai kertas dan pacul sebagai pena pengukir cita-cita. Berdiri di bawah terik matahari mengayunkan pena di atas lembaran kehidupan mengukir cita-cita tiada terganti.